Selasa, 05 Januari 2010

FILSAFAT ARISTOTELES

A. SEJARAH SINGKAT

Aristoteles adalah murid, teman sekaligus juga guru dari Plato. Aristoteles ini merupakan salah satu tokoh filsafat pada zaman Yunani Kuno. Aristoteles berasal dari keluarga yang sangat memperhatikan pendidikan. Keluarganya adalah orang-orang yang tertarik pada ilmu kedokteran. Sifat berpikir saintifik ini berpengaruh besar pada Aristoteles. Sehingga filsafat Aristoteles berbeda warna dengan filsafat Plato. Filsafat Aristoteles yaitu sistematis, dan amat dipengaruhi dengan metode empiris.
Aristoteles lahir pada tahun 384 SM di Stagira, sebuah kota di Thrace. Ia adalah anak seorang dokter pribadi raja Macedonia. Ayahnya meninggal tatkala ia masih amat muda. Ia diambil oleh Proxenus, dan orang inilah yang memberikan pendidikan yang istimewa pada Aristoteles. Tatkala ia berumur 18 tahun, Aristoteles dikirim ke Athena dan dimasukkan ke Akademia Plato. Disanalah ia belajar, dan tentu saja pada Plato kurang lebih 20 tahun. Dan setelah Plato meninggal dunia Aristoteles mendirikan sekolah di Assos (Asia Kecil).
Di Athena inilah Aristoteles berhasil dalam pendidikannya, dan dalam pergaulan tingkat atas ia bisa dikatakan lebih berhasil dibanding dengan gurunya Plato. Aristoteles mempunyai pengaruh besar terhadap sejarah dunia. Namun karena ia dekat dalam arti sebagai teman sekaligus juga sebagai guru dengan Alexander (putra Philip dari Macedonia, seorang diplomat yang ulung dan jenderal yang terkenal). Dan juga karena Aristoteles mendirikan sekolah yang diberi nama Lyceum, sehingga terjadi persaingan yang hebat antara Lyceum dan Akademia, maka posisinya lama kelamaan di Athena menjadi tidak aman. Orang-orang Athena yang anti Macedonia memandang Aristoteles sebagai orang yang menyebarkan pengaruh yang bersifat subversif, makanya ia berpikir bijak dan meninggalkan Athena. Ia juga dituduh atheis. Ia pindah ke Chalcis dan meninggal di sana pada tahun 322 SM.


B. PENJELASAN FILSAFAT ARISTOTELES

Hasil karya Aristoteles banyak sekali. Akan tetapi sulit menyusun karyanya secara sistematis. Berbeda-beda cara orang membagibagikannya. Ada yang membaginya atas 8 bagian, yang mengenai logika, filsafat alam, psikologi, biologi, metafisika, etika, politik dan ekonomi, dan akhirnya retorika dan poetika. Ada juga orang yang menguraikan perkembangan pemikiran Aristoteles meliputi 3 tahap yaitu :
1. tahap di Akademi, ketika ia masih setia kepada gurunya, Plato, termasuk ajaran Plato tentang idea;
2. tahap di Assos, ketika ia berbalik daripada Plato, mengkritik ajaran Plato tentang idea-idea serta menentukan filsafatnya sendiri;
3. tahap ketika ia di sekolahnya di Athena, waktu ia berbalik dari berspekulasi ke penyelidikan empiris, mengindahkan yang konkrit dan yang individual. Asal pembagian ini tidak diterapkan secara konsekuen, namun dapat juga dipakai.
Aristoteles mengatakan bahwa ada dua metode yang dapat digunakan untuk menarik kesimpulan demi memperoleh pengetahuan dan kebenaran baru. Kedua metode itu disebut metode induktif dan deduktif. Induksi (epagogi) ialah cara menarik konklusi yang bersifat umum dari hal-hal yang khusus. Adapun deduksi (apodiktik) ialah cara menarik konklusi berdasarkan dua kebenaran yang pasti dan tidak diragukan, yang bertolak belakang dari sifat umum ke khusus atau bias dikatakan cara menarik konklusi dari hal-hal yang bersifat khusus ke umum. Induksi berangkat dari pengamatan dan pengetahuan inderawi yang berdasarkan pengalaman, sedangkan deduksi sebaliknya terlepas dari pengamatan dan pengetahuan inderawi yang berdasarkan pengalaman itu.
Sebenarnya, Aristoteles menerima baik induksi maupun deduksi. Akan tetapi, karena dikenal sebagai filsuf Barat pertama yang secara rinci dan sistematis menyusun ketentuan-ketentuan dalam penalaran deduktif, ia senantiasa dihubungkan dengan penalaran deduktif.
Baik deduksi maupun induksi di paparkan oleh Aristoteles di dalam logika. Tidak dapat disangkal bahwa logika adalah salah satu karya filsafati besar yang dihasilkan oleh Aristoteles, yang menyebabkan ia sering disebut sebagai pelopor, penemu, atau bapak logika kendati itu tidak berarti sebelum Aristoteles belum ada logika.
Sebenarnya, istilah logika tidak pernah digunakan oleh Aristoteles. Untuk meneliti berbagai argumentasi yang berangkat dari proposisi-proposisi yang benar, dipakainya istilah analitika. Adapun untuk meneliti argumentasi-argumentasi yang bertolak belakang dengan proposisi-proposisi yang diragukan kebenarannya, dipakainya istilah dialektika. Istilah logika dalam arti sebagaimana yang kita kenal pada masa kini mulai digunakan oleh Alexander Aphrodisias pada awal abad ke-3 SM.
Logika sebagai ajaran tentang berpikir yang secara ilmiah, yang membicarakan hal bentuk-bentuk pikiran itu sendiri (y.i. pengertian, pertimbangan dan penalaran) dan hokum-hukum yang menguasai pikiran itu, adalah ciptaan Aristoteles.
Berpikir dilaksanakan dengan perantaraan pengertian (meja, kursi, perkakas rumah, dll). Menurut Aristoteles, tiap pengertian berpatutan dengan benda tertentu. Maka tiap pengetahuan adalah suatu penggambaran kenyataan. Segala pengertian dapat dihubungkan antara yang satu dengan yang lain menurut tertibnya dan dapat disusun menurut sifat-sifatnya yang umum. Sebagai contoh: secara konkrit ada anjingku, anjingmu, anjingnya, dll., yang semuanya itu dapat digolongkan kepada pengertian “anjing” yang lebih umum, umpamanya: anjing kampung. Di samping anjing kampong ada juga anjing herder, anjing kikik, dll, yang semuanya dapat digolongkan kepada pengertian yang lebih umum lagi, yaitu: “anjing”. Anjing adalah binatang yang menyusui di samping binatang-binatang menyusui lainnya, sehingga dapat digolongkan kepada pengertian “binatang menyusui”. Binatang menyusui adalah binatang di samping binatang-binatang lainnya, sehingga anjing dapat digolongkan kepada pengertian yang lebih umumlagi, yaitu: “binatang”. Demikian seterusnya, dari binatang naik ke makhluk hidup, ke makhluk pada umumnya, dan seterusnya. Penggolongan menurut sifatnya yang umum ini dapat diperluas lagi hingga sampai kepada kelompok pengertian yang tidak dapat diturunkan lagi dari kelompok yang lebih tinggi lagi, sampai kepada kelompok pengertian yang telah mencakup apa saja yang dapat dikatakan tentang sesuatu. Kelompok pengertian yang sifatnya paling umum ini oleh Aristoteles disebut kategori. Kategori sebagai kelompok pengertian cocok juga dengan kelompok segala sesuatu yang ada. Menurut Aristoteles ada 10 kategori, yaitu: substansi (manusia, binatang, dll), kuantitas (dua, tiga, sepuluh, dll), kualitas (putih, busuk, dll), relasi (rangkap, separoh, dll), tempat (di pasar, di rumah, dll), waktu (kemarin, sekarang, besok, dll), keadaan (duduk, berdiri, dll), mempunyai (bersepatu, bersuami, dll), berbuat (mengiris, membakar, dll), menderita (terbakar, terpotong, dll). Kadang-kadang ia hanya menyebut 8 kategori. Yang paling penting ialah 4 kategori yang pertama, yaitu: substansi, kuantitas, kualitas dan relasi.
Segala pengertian itu dapat digabungkan antara yang satu dengan yang lain, sehingga membentuk suatu pertimbangan, umpamanya: manusia adalah fana. Pengertian “manusia” digabungkan dengan pengertian “fana”, yang bersama-sama mewujudkan suatu pertimbangan. Ada bermacam-macam pertimbangan, ada yang meneguhkan, ada yang menyangkal dan ada yang bersifat umum dan khusus.
Bukan hanya pengertian-pengertian yang dapat digabungkan antara yang satu dengan yang lain, tetapi juga pertimbangan-pertimbangan dapat digabung-gabungkan, sehingga menghasilkan penyimpulan. Penyimpulan adalah suatu penalaran, dengannya dari dua pertimbangan dilahirkan pertimbangan yang ketiga, yang baru, yang berbeda dengan kedua pertimbangan sebelumnya.
Cara menyimpulkan ini yang disebut silogisme. Jadi inti dari logika Aristoteles adalah silogisme, dan silogisme sebagai suatu alat dan mekanisme penalaran untuk menarik konklusi atau kesimpulan yang benar berdasarkan premis-premis yang benar adalah suatu bentuk formal dari penalaran deduktif. Bagi Aristoteles, deduksi merupakan metode terbaik untuk memperoleh konklusi atau kesimpulan demi meraih pengetahuan dan kebenaran baru. Itulah sebabnya mengapa metode Aristoteles disebut metode silogistis deduktif.
Silogisme adalah penemuan Aristoteles yang murni dan terbesar dalam logika. Aristoteles tidak menggunakan silogisme semata-mata untuk menyusun argumentasi-argumentasi bagi suatu perdebatan, namun terutama sebagai metode dasar bagi pengembangan suatu bidang ilmu pengetahuan. Karena itu, Aristoteles tidak memasukkan logika ke dalam salah satu kelompok dari ketiga kelompok menurut pembagian ilmu pengetahuan yang disusunnya.
Silogisme, sebagai bentuk formal dari deduksi, terdiri atas tiga proposisi. Proposisi pertama dan proposisi kedua disebut premis, sedangkan proposisi ketiga merupakan konklusi yang ditarik dari proposisi pertama dengan bantuan proposisi kedua. Jadi, setiap silogisme terdiri dari atas dua premis dan satu konklusi. Tiap-tiap proposisi itu harus memiliki dua term. Jadi, setiap silogisme haruslah memiliki enam term. Akan tetapi, karena setiap term dalam satu silogisme senantiasa disebut dua kali, sebenarnya dalam setiap silogisme hanya ada tiga term. Apabila proposisi yang ketiga, yaitu proposisi yang disebut konklusi, diperhatikan dengan seksama, pada proposisi ketiga itu terdapat dua term dari ketiga term yang disebut tadi. Yang menjadi subjek konklusi disebut term minor, dan yang menjadi predikat konklusi disebut term mayor. Term yang terdapat pada kedua proposisi disebut term tengah (terminus medius).

Berikut ini sebuah contoh silogisme :

Semua anjing adalah hewan berkaki empat. (umum/universal)
Si hitam adalah seekor anjing. (khusus/partikular)
Si hitam adalah hewan berkaki empat.

Pola kerja yang ditempuh dalam penalaran silogistis-deduktif adalah sebagai berikut. Pertama-tama, ditetapkan suatu kebenaran yang bersifat umum atau universal dan kemudian di langkah kedua menjabarkannya pada hal-hal yang khusus. Dengan kata lain, sesudah suatu ketentuan umum yang ditetapka, barulah kemudian berdasarkan ketentuan umum itu ditarik kesimpulan yang bersifat khusus atau kasus tertentu.
Ajaran Aristoteles yang mengenai fisika dan metafisika tidak senantiasa dapat dibeda-bedakan dengan jelas. Sebutan “metafisika” sebenarnya memang hanya suatu sebutan yang kebetulan saja. Istilah ini tidak berasal dari Aristoteles sendiri, melainkan dari Andronikos dari Rhodos (± 70 SM). Ia menyusun karya-karya Aristoteles dengan cara demikian, bahwa karya-karya Aristoteles tentang “filsafat pertama”, yang mengenai hal-hal yang bersifat gaib, ditempatkan sesudah karya-karyanya tentang fisika (meta ta fusika). Kata meta mempunyai arti rangkap, yaitu: sesudah dan di belakang. Judul meta ta fusika ketika itu dipandang sebagai tepat sekali untuk dipakai guna mengungkapkan isi pandangan-pandangan yang mengenai “hal-hal yang di belakang gejala-gejala fisik”. Di zaman yang lebih kemudian sebutan itu tetap dihubungkan dengan karya-karya Aristoteles itu dan dengan bagian filsafat, yang dibicarakan di dalam karya-karya itu.
Ajaran Aristoteles tentang “yang ada’ didasarkan atas ajaran para filsuf yang mendahuluinya. Plato telah memecahkan persoalan yang dihadapi Herakleitos dan Parmenides dengan memandang persoalan itu dari segi keberadaan manusia. Tetapi pemecahan Plato itu bukanlah satu-satunya pemecahan yang dapat diberikan terhadap persoalan tersebut.
Untuk lebih jelasnya akan diuraikan kembali persoalannya. Herakleitos dan Parmenides dihadapkan dengan pemilihan yang sulit, yaitu “apakah kenyataan itu berada di dalam “ada” yang tak berubah, atau di dalam “gejala-gejala” yang terus-menerus berubah itu? Herakleitos hanya mau mengakui gerak saja dan menolak segala gagasan tentang perhentian, sedang Parmenides hanya mau mengakui perhentian saja dan menolak segala gagasan tentang gerak dan perubahan. Plato memecahkan persoalan itu demikian, bahwa yang serba berubah itu memang ada dan dikenal oleh pengamatan, sedang yang tidak berubah, yaitu idea-idea, dikenal oleh akal. Jadi menurut Plato, ada dua bentuk “yang ada”, yaitu bentuk yang dapat diamati, yang senantiasa berubah dan bentuk yang tidak dapat diamati, yang tidak berubah. Hubungan antara kedua bentuk “ada” itu adalah demikian, bahwa “yang tampak” adalah pengungkapan dari “yang tidak tampak”.
Aristoteles tidak setuju dengan pemecahan Plato ini. “Ada”, yang olehnya disebut ousia, dalam arti yang sebenarnya hanya dimiliki oleh benda-benda yang konkrit, artinya: yang sungguh-sungguh berada hanya benda-benda yang konkrit (meja itu,kursi itu, rumah itu, dll, yang diamati itu). Di luar benda-benda yang konkrit, dan disampingnya tiada sesuatu yang berada. “Ada” yang bersifat umum, yang mengungkapkan jenis sesuatu, terdapat di dalam benda yang konkrit itu. Dapat dikatakan, bahwa pengertian-pengertian yang umum (manusia, binatang, dll) hanya mengungkapkan apa yang dimiliki bersama oleh kelompok benda. Pengertian umum hanya sebutan saja, bukan benda, sekalipun yang dimaksud dengan benda itu hal yang gaib, seperti yang diajarkan oleh Plato. Yang benar-benar berada hanya benda-benda konkrit yang bermacam-macam itu, umpamanya: manusia yang banyak dan bermacam-macam itu. “Manusia” secara umum hanya berada di dalam pikiran saja. Oleh karena itu pemikiran filsafati pertama-tama diarahkan kepada dunia pengalaman ini. Pengetahuan ilmiah memiliki sebagai sasarannya hanya “yang umum” yang ada di dalam benda-benda yang konkrit.
Inti sari ajaran Aristoteles mengenai fisika dan metafisika terdapat dalam ajarannya tentang apa yang disebut dunamis (potensi) dan energeia (aksi). Semula ajaran ini dipakai guna memecahkan soal perubahan dan gerak.
Para filsuf Elea (Parmenides, Zeno, dll) berpendapat, bahwa gerak dan perubahan adalah khayalan. Aristoteles menentang mereka itu. “Yang ada” dalam arti yang mutlak adalah apa yang telah terwujud. “yang tidak ada” secara terwujud, jikalau melalui sesuatu. Di antara “yang tidak ada” dan “yang ada” secara mutlak itu terdapat “ada yang nyata-nyata mungkin”, atau “yang ada” sebagai kemungkinan, sebagai bakat, sebagai potensi, sebagai dunamis. “Yang ada” sebagai potensi ini pada dirinya bukanlah sesuatu, sekalipun dapat menjadi sesuatu. “Yang ada” sebagai potensi ini senantiasa cenderung menjadi “yang ada secara terwujud”, sehingga “yang ada” sebagai potensi dapat dipandang sebagai perealisasian dari “yang ada” secara terwujud. Secara hakiki keduanya harus dibedakan, akan tetapi tidak dapat dipisah-pisahkan.
Perubahan dan gerak dalam arti yang lebih luas mencakup hal “menjadi” dan “binasa” serta segala perubahan lainnya, baik di bidang bilangan maupun di bidang mutu dan di bidang ruang. Tiap gerak sebenarnya mewujudkan suatu perubahan dari apa yang ada sebagai potensi ke apa yang ada secara terwujud. Oleh karena itu setiap gerak mewujudkan suatu perpindahan dari apa yang ada sebagai potensi ke apa yang ada secara terwujud. Dari dirinya sendiri apa yang ada secara terwujud tidak dapat mengusahakan perubahannya. Untuk itu diperlukan adanya suatu penggerak yang pada dirinya sendiri telah memiliki kesempurnaan, yang tidak perlu disempurnakan. Penggerak pertama, yang tidak digerakkan oleh penggerak yang lain ini tidak mungkin dibagi-bagi, tidak mungkin memiliki keluasan serta bersifat fisik. Kuasanya tak terhingga dan kekal. Penggerak pertama yang demikian itu tidak berasal dari dalam dunia, sebab di dalam jagat raya ini tiap gerak digerakkan oleh sesuatu yang lain. Penggerak pertama ini adalah Allah. Ialah yang menyebabkan gerak abadi, yang sendiri tidak digerakkan, karena bebas dari materi. Allah adalah Actus Purus, Aktus Murni.
Ajaran tentang gerak ini pertama-tama diterapkan di dalam dunia gejala yang berubah-ubah ini. Di dalam dunia inilah kita menghadapi pengertian-pengertian tentang “yang ada sebagai potensi” dan “yang ada secara terwujud”. Menurut Aristoteles keduanya itu adalah sebutan yang malambangkan materi (hule) dan bentuk (eidos, morfe). Pengertian materi di sini tidak sama dengan pengertian kita sekarang tentang materi. Dasar terakhir bagi segala perubahan dari hal-hal yang berdiri sendiri dan unsur bersama yang terdapat di dalam segala sesuatu yang menjadi dan binasa menurut Aristoteles, adalah “materi pertama”. Dari materi pertama inilah timbul sebagai penyempurnaannya bentuk-bentuk segala sesuatu yang bermacam-macam itu. Pengertian materi dan bentuk, asas gerak dan tujuan, dipakai untuk mengembalikan segala sesuatu kepada dasar-dasar yang terakhir. Bentuk “ada” atau asas “ada” (eidos, morfe) telah kita temui pada Plato, yaitu idea. Akan tetapi apa yang diajarkan Aristoteles tentang eidos berbeda dengan apa yang diajarkan Plato. Bagi Plato eidos atau idea adalah pola segala sesuatu yang tempatnya di luar dunia ini, yang berdiri sendiri, lepas daripada benda yang konkrit, yang adalah penerapannya. Bagi Aristoteles eidos adalah asas yang imanen atau yang berada di dalam benda yang konkrit, yang secara sempurna menentukan jenis benda itu, yang menjadikan benda yang konkrit itu disebut demikian (disebut meja, kursi, dll). Jadi segala pengertian yang ada pada manusia (meja, kursi, dll) bukanlah sesuai dengan realitas idea yang berada di dunia idea, melainkan sesuai dengan jenis benda yang tampak pada benda yang konkrit. Kesatuan benda-benda yang mempersatukan segala benda yang bermacam-macam itu bukan berada di luar benda-benda itu, melainkan di dalamnya.
Materi (hule) dalam arti yang mutlak adalah asas atau lapisan bawah yang paling akhir dan umum. Tiap benda yang dapat diamati disusun daripadanya. Oleh karena itu materi perlu mutlak bagi pembentukan segala sesuatu. Materi pada dirinya, artinya: lepas daripada segala bentuk, tidak memiliki kenyataan, bukan hal yang berdiri sendiri. Sekalipun demikian materi bukan hal yang “tidak ada” sama sekali. Materi adalah kenyataan yang belum terwujud, yang belum ditentukan, akan tetapi yang memiliki potensi, bakat untuk menjadi terwujud atau menjadi ditentukan oleh bentuk. Padanya ada kemungkinan untuk menjadi nyata, bukanlah pola yang kekal dari segala hal yang nyata, bukan hanya idea, seperti yang diajarkan Plato, akan tetapi sekaligus juga menjadi tujuan yang akan dicapai materi, dan kekuatan yang menjadikan materi yang belum terbentuk menjadi nyata.
Demikianlah materi dan bentuk tidak dapat dipisahkan. Materi tidak dapat berada tanpa bentuk, sebaliknya bentuk tidak dapat berada tanpa materi. Tiap benda yang dapat diamati disusun dari bentuk dan materi. Materinya adalah rangkuman segala yang belum ditentukan dan yang belum terwujud, sedang bentuknya memberi kesatuan kepada benda itu.
Sekalipun materi baru menjadi nyata jikalau dibentuk, namun materi tidak hanya pasif. Materi dapat menentang kekuatan yang membentuknya. Penentangan ini menyebabkan materi tidak pernah mendapatkan bentuknya yang sempurna seperti yang ada pada jenisnya, artinya: tiap benda adalah penampakan yang kurang sempurna dari jenisnya. Tiap benda yang telah terbentuk dapat juga menjadi materi bagi benda yang lain.
Gagasan tentang materi dan bentuk ini bukan hanya berlaku bagi benda-benda hasil buatan manusia (patung, meja, kursi, dll), tetapi juga berlaku bagi hal-hal alamiah yang mengandung asas perkembangan di dalamnya, yang memiliki sumber gerak dalam dirinya sendiri.
Di sini tampak bahwa pada tiap gerak diandaikan adanya tujuan. Dunia ini bertujuan. Perkembangan dunia tergantung kepada tujuan itu. Tiap hal yang alamiah memiliki potensi untuk merealisasikan diri sesuai dengan tujuannya. Segala sesuatu si dalam alam raya ini bertujuan. Jagat raya laksana seorang tuan rumah yang baik, yang tidak membuang apa yang berguna.
Segala yang bergerak, yang berbuat, menuju kepada satu tujuan. Bagi setiap benda tujuan perbuatannya atau geraknya adalah menyempurnakan bentuknya sendiri. Badan-badan jagat raya bergerak mengelilingi bumi. Pada dirinya semuanya itu telah sempurna, geraknya kekal, tidak akan musnah, seperti halnya dengan waktu yang kekal juga. Tujuan gerak segala badan jagat raya itu bukan untuk mencapai kesempurnaa, tetapi untuk menuju kepada Penggerak yang tidak digerakkan, yang tidak berada di dalam ruang yang terbatas, yang tidak bersifat bendani, yang adalah bentuk atau aktus murni, yaitu Allah. Ialah yang menggerakkan segala badan jagat raya itu.
Ajaran Aristoteles tentang manusia melalui dua tahap. Dalam tahap pertama ia masih dipengaruhi Plato, sehingga masih mengajarkan dualisme antara tubuh dan jiwa, serta mengajarkan praeksistensi jiwa. Akan tetapi kemudian ia meninggalkan dualisme dengan menjembatani jurang yang ada di antara tubuh dan jiwa. Keduanya dipandang sebagai dua aspek dari satu substansi, yang saling berhubungan dan yang nisbahnya sama seperti nisbah antara materi dan bentuk, atau antara potensi dan aktus. Jikalau tubuh adalah materi, maka jiwa adalah bentuknya, jikalau tubuh adalah potensi, maka jiwa adalah aktusnya. Jiwa adalah aktus pertama yang paling asasi, yang menyebabkan tubuh menjadi tubuh yang hidup. Jiwa adalah asas hidup dalam arti yang seluas-luasnya, yang menjadi asas segala arah hidup yang menggerakkan tubuh, yang memimpin segala perbuatan menuju kepada tujuannya. Terjadinya jiwa dikaitkan dengan pengembangbiakan tubuh. Pada waktu manusia mati jiwanya ikut binasa. Maka tiada pra-eksistensi jiwa dan tidak ada jiwa yang tidak dapat mati.
Pengertian tentang jiwa yang demikian itu berlaku baik bagi manusia maupun bagi binatang dan tumbuh-tumbuhan.
Seperti halnya dengan Plato, Aristoteles mengajarkan adanya dua macam pengenalan, yaitu: pengenalan inderawi dan pengenalan rasional. Menurut Aristoteles, pengenalan inderawi memberi pengetahuan tentang bentuk benda tanpa materinya. Pengetahuan inderawi hanya mengenai hal-hal yang konkrit dari suatu benda tertentu. Tidak demikian halnya dengan pengenalan rasional. Jikalau indera hanya terbatas kepada satu aspek saja, maka rasio yang ada pada manusia, tidak terbatas aktivitasnya. Rasio dapat mengenal hakekat sesuatu, jenis sesuatu. Sasaran rasio lebih umum disbanding dengan sasaran indera. Pengamatan rasional inilah yang memimpin kepada ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan hanya terdiri dari pengenalan rasio saja, artinya: tidak ada ilmu pengetahuan tentang hal-hal yang konkrit. Ilmu pengetahuan hanya mengenai hal-hal yang umum. Jalan yang menuju ilmu pengetahuan adalah jalan yang abstraksi. Akal atau rasio tidak memiliki idea-idea bawaan, akal atau rasio melepaskan atau mengabstraksikan ideanya daripada benda-benda konkrit itu.
Di dalam filsafat Aristoteles etika mendapat tempat yang khusus. Hukum-hukumnya bukan diarahkan kepada suatu cita-cita yang kekal, mutlak dan tanpa syarat di dalam dunia yang mengatasi penginderaan kita, tetapi diarahkan ke dunia ini. Hukum-hukum kesusilaan diturunkan dari pengamatan perbuatan-perbuatan kesusilaan dan dari pengalaman angkatan yang susul-menyusul.
Tujuan tertinggi yang ingin dicapai ialah “kebahagiaan” (eudaimona). Kebahagiaan ini bukan kebahagiaan yang subyektif, tetapi suatu keadaan yang sedemikian rupa, sehingga segala sesuatu yang termasuk keadaan bahagia itu terdapat pada manusia. Tujuan yang dikejar adalah demi kepentingan diri sendiri, bukan demi kepentingan orang lain. Isi kebahagiaan tiap makhluk hidup yang berbuat ialah, bahwa perbuatan sendiri yang sifatnya khusus itu disempurnakan. Jadi kebahagiaan manusia terletak disini, bahwa aktifitas yang khas miliknya sebagai manusia itu disempurnakan. Padahal cirri khas manusia ialah bahwa ia adalah makhluk yang rasional. Jadi puncak perbuatan kesusilaan manusia terletak dalam “pikiran murni”. Kebahagiaan manusia ialah “berpikir murni”. Tetapi puncak itu hanya dapat dicapai oleh para dewa, manusia hanya dapat mencoba mendekatinya dengan mengatur keinginannya.
Ajaran Aristoteles tentang Negara berhubungan erat sekali deddngan ajarannya tentang etika. Dapat dikatakan, bahwa ajarannya tentang Negara mewujudkan lanjutan dan penyelesaian ajarannya tentang etika.
Manusia adalah zoon politikon, makhluk sosial, makhluk hidup yang membentuk masyarakat. Demi keberadaannya dan demi penyempurnaan dirinya diperlukan persekutuan dengan orang lain. Untuk keperluan itu dibutuhkan negara. Negara bertujuan untuk memungkinkan hidup dengan baik, seperti halnya dengan segala lembaga yang lain.
Oleh karena itu tidak semua bentuk Negara adalah baik. Bentuk Negara yang buruk ialah tirani, yaitu pemerintahan seorang lalim, oligarki, pemerintahan sekelompok kecil orang dan demokrasi, yaitu pemerintahan seluruh rakyat, kaya, miskin, berpendidikan atau tidak. Negara yang demikian tidak mungkin mencapai tujuannya. Sebaliknya, susunan Negara yang tergolong ideal ialah negara monarki, yaitu pemerintahan seorang raja, atau aristokrasi, yaitu pemerintahan kaum ningrat dan politeia, yaitu pemerintahan banyak orang. Dalam prakteknya yang paling baik ialah politeia yang bersifat demokratis-moderat, atau demokrasi dengan undang-undang dasar, sebab hak memilih dan hak dipilih bukan ada pada semua orang, melainkan pada golongan tengah, yang memiliki senjata dan yang telah biasa berperang. Bentuk pemerintahan inilah yang menurut Aristoteles memberi jaminan yang terkuat, bahwa pemerintahan akan bertahan lama dan akan dihindarkan dari perbuatan-perbuatan yang berlebihan. Aristoteles tidak menyelesaikan ajarannya tentang Negara yang ideal itu.
Jikalau kita membandingkan Plato dengan Aristoteles, mungkin dapat dikatakan demikian, bahwa Plato adalah tokoh yang serba bermenung, sedang Aristoteles adalah orang yang menekankan kepada pengalaman. Sampai sekarangpun pemikiran orang masih berkisar kepada kedua cara berpikir ini.

C. Beberapa Buku/Hasil Karya Aristoteles

1. Karangannya tentang logika berjudul Organon yang berisi tentang categories.
2. On Interpretation, membahas berbagai tipe proposisi.
3. Prior Analytics, membicarakan silogisme. Dalam buku ini kita temukan aturan silogisme dan konsep induksi.
4. Posterior Analytics, memberikan penjelasan ilmiah tentang pengetahuan sains.
5. On Sophistical Refitations, adalah buku yang penting bagi persoalan kita. Karena di dalam buku ini membuktikan kepalsuan logika orang sofis.
6. Metaphysics, menyatakan bahwa manusia dapat mencapai kebenaran.

Salah satu teori metafisika Aristoteles yang penting ialah pendapatnya yang mengatakan bahwa matter dan form itu bersatu; matter memberikan substansi sesuatu, dan form memberikan pembungkusnya. Jadi, dapat dikatakan setiap objek terdiri atas matter dan form.
Namun, ada substansi yang murni form, tanpa potentiality, jadi tanpa matter yaitu Tuhan. Aristoteles percaya adanya Tuhan. Bukti adanya Tuhan menurutnya ialah Tuhan sebagai penyebab gerak (a first cause of motion).
Tuhan itu menurut Aristoteles berhubungan dengan dirinya sendiri. Ia tidak berhubungan dengan (tidak mempedulikan) alam ini. Ia bukan pesona. Ia tidak memperhatikan doa dan keinginan manusia. Dalam mencintai Tuhan, kita tidak usah mengharap Ia mencintai kita. Ia adalah kesempurnaan Tertinggi, dan kita mencontoh ke sana untuk perbuatan dan pikiran-pikiran kita.


D. SUMBER
1. Tafsir, Ahmad. 2000. Filsafat Umum: Akal dan Hati sejak Thales sampai Capra, edisi revisi, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
2. Rapar, Jan Hendrik. 1995. Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Kanisius.
3. Hadiwijono, Harun. 1980. Sari Sejarah Filsafat Barat 1. Yogyakarta: Kanisius.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar